BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hampir semua orang Islam sepakat akan pentingnya
peranan hadis dalam berbagai disiplin keilmuan Islam seperti tafsir, fiqh,
teologi, akhlaq dan lain sebagainya. Sebab secara struktural hadis
merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, dan secara
fungsional hadis dapat berfungsi sebagai penjelas (baya>n) terhadap
ayat-ayat yang mujmal atau global. Hal itu dikuatkan dengan
berbagai pernyataan yang gamblang dalam al-Qur’an itu sendiri yang menunjukkan
pentingnya merujuk kepada hadis Nabi, misalnya Q.S> al-Ahzab [33]:
21, 36, al-Hasyr [59]: 7.
Akan tetapi ternyata secara historis, perjalanan
hadis tidak sama dengan perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya
sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk
dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan
penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika, al-Qur’an
secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan
otentisitasnya, maka tidak demikian halnya dengan Hadis Nabi, yang
mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Bahkan dalam kitab kitab hadis,
terdapat adanya pelarangan penulisan hadis. Hal itu tentunya mempunyai
impliksi-implikasi tersendiri bagi transformasi hadis, terutam pada zaman Nabi.
Berita tentang prilaku Nabi Muhammad (sabda,
perbuatan, sikap ) didapat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir
atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian disampaikan kepada sahabat yang
lain yang kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan. Kemudian berita
itu disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabi’in (satu generasi
dibawah sahabat) . Berita itu kemudian disampaikan lagi ke murid-murid dari
generasi selanjutnya lagi yaitu para tabi’ut tabi’in dan seterusnya hingga
sampai kepada pembuku hadist (mudawwin).Pada masa Sang Nabi masih hidup, Hadits
belum ditulis dan berada dalam benak atau hapalan para sahabat. Para sahabat
belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan mengingat Nabi masih mudah
dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.
Diantara sahabat tidak semua bergaulnya dengan Nabi.
Ada yang sering menyertai, ada yang beberapa kali saja bertemu Nabi. Oleh sebab
itu Al Hadits yang dimiliki sahabat itu tidak selalu sama banyaknya ataupun
macamnya. Demikian pula ketelitiannya. Namun demikian diantara para sahabat itu
sering bertukar berita (Hadist) sehingga prilaku Nabi Muhammad banyak yang
diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada
waktu Nabi Muhammad masih hidup.Dengan demikian pelaksanaan Al Hadist
dikalangan umat Islam saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi
Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya para
sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Al Hadist yang telah
diamalkan/ditaati oleh umat Islam dimasa Nabi Muhammad hidup ini oleh ahli
Hadist disebut sebagai Sunnah Muttaba’ah Ma’rufah. Itulah setinggi-tinggi
kekuatan kebenaran Al Hadist.
B.
Rumusan Masalah
a. Bagaimana
Proses transformasi hadits dari rasulullh kepada sahabat
b. Bagaimana
sejarah pembukuan Hadits
c.
Bagaimana kritik tentang sejarah
pembukuan
C.
Tujuan Pembahasa
a.
Agar kita hkususnya sebagai` mahasiswa
mengerti tentang sejarah pembukuan al hadis
b.
Agar mahasiswa dapat mengerti
proses pembukuan hadits
c.
Supaya mahasiswa mengetahui
proses transformasi hadits dari rasulullah kepada sahabat
BAB II
PEMBAHASAN
1. Transformasi Hadis Dari rasulullah Kepada
Sahabat
Sejarah hadsis memulai periodisasi sejarah
perkembangan hadis pada saat awal kenabian itu juga, walaupun informasi
yang dimuat adalah informasi-informasi sebelumnya. Sehingga yang dimaksud
dengan masa Nabi adalah masa diturunkannya al-Qur’an dari Allah SWT dan masa
disampaikannya hadis oleh Nabi SAW.
Bagaimana suasana keilmuan di awal Islam, mungkin
inilah pijakan pertama yang harus dilihat untuk mengetahui perjalanan hadis
pada masa Nabi. Sejarah menginformasikan bahwa pada awal Islam tersebut sudah
ada kebiasaan tulis menulis. Hal ini ditunjukkan oleh adanya penulisan wahyu
dan berbagai bentuk tulis menulis untuk keperluan administrasi negara. Setelah
hijrah serta kondisi negara sudah stabil terbukalah orientasi umat Islam untuk
mempelajari al-Qur’an dan ilmu pengetahuan lainnya, melalui tradisi membaca dan
menulis. Bahkan perang Badar mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan
kemampuan baca tulis saat itu, karena para tawanan perang akan mendapatkan
kebebasan dari Nabi, bila mau mengajar sepuluh anak Madinah untuk membaca dan
menulis.
Kemudian berkembanglah kajian-kajian ilmu dan menyebar
ke seluruh penjuru dunia Islam. Ini dibuktikan dengan ditemukannya berbagai
tempat-tempat pertemuan dan tempat kajian yang muncul di akhir abad pertama,
yang menunjukkan akan adanya kebangkitan ilmiah. Perkembangan ilmiah
tersebut bersamaan dengan usaha-usaha Nabi SAW dalam menyebarkan sunnah,
diantaranya dengan cara:
a. Mendirikan
sekolah di Madinah segera setelah kedatangannya di sana dan setelah itu
mengirimkan guru dan khatib ke berbagai wilayah luar Madinah.
b. Memberikan perintah misalnya, “Sampaikanlah
pengetahuan dariku walaupun hanya satu ayat”. Tekanan yang sama dapat dilihat
dalam pidatonya dalam haji Wada’, “Yang hadir di sini hendaklah menyampaikan
amanat ini kepada yang tidak hadir”.
Di samping itu, Rasulullah juga menyuruh kepada
delegasi yang datang ke Madinah untuk mengajari kaumnya setelah kembali ke
daerahnya. Selain itu, beliau juga memberikan rangsangan kepada pengajar dan
penuntut ilmu misalnya: ganjaran untuk penuntut ilmu dan pengajar serta ancaman
pada orang yang menolak terlibat dalam proses pendidikan.
Dari data historis ini dapat dilihat bahwa pada awal
Islam memang kemampuan baca tulis umat Islam masih rendah. Oleh karenanya hal
ini juga menjadi fokus perjuangan Nabi SAW untuk mencerdaskan kehidupan
umatnya. Dan berkat upaya-upaya yang dirintis oleh beliau, pada periode-periode
berikutnya umat Islam memperoleh kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini tentu
saja sedikit banyak juga mempunyai implikasi terhadap perjalanan transformasi
hadis pada masa itu, yaitu bagaimana mereka melestarikan ajaran-ajaran Nabi SAW
yang notabenya merupakan tafsir praktis terhadap al-Qur’an, melalui
seluruh aspek kehidupannya.
Di samping itu, Rasul Ja’fariyan dalam
penelitiannya menemukan bahwa tradisi penulisan hadis di kalangan Syi’ah
mendahului fatwa tentang penulisan hadis yang diberikan oleh para Imam
belakangan kepada para sahabat mereka. Penulisan hadis merupakan tradisi yang
telah dimulai pada masa Nabi dan dikokohkan oleh Ali. Misalnya,
Muhammad Ibn Muslim, seorang sahabat Imam al-Baqir, berkata: “Abu Ja’far
membacakan kepada saya “Kitab al-Fara’id} yang didektekan oleh Nabi, dan
ditulis oleh Ali ra.
Namun demikian, hal ini tidak berarti hadis
Nabi telah terhimpun secara keseluruhan dalam catatan para sahabat
tersebut. Karena hadis tidak dilakukan pencatatan (secara resmi) sebagaimana
al-Qur’an, sehingga sahabat sebagai individu tidak mungkin mampu menjadi wakil
dalam merekam seluruh aspek kehidupan Nabi SAW. Dengan kata lain, oleh karena
hadis itu meliputi segala ucapan, tindakan, pembiaran (taqrir), keadaan,
kebiasaan dan hal ihwal Nabi Muhammad. maka yang demikian ini tidak
selalu terjadi di hadapan orang banyak.
Dari keterangan di atas tampak bahwa tradisi penulisan
hadis sebenarnya sudah ada sejak masa Nabi saw. Namun ada kemungkinan bahwa
sebagian hadis yang belum tercatat saat itu, dan baru dicatat masa
sesudahnya lewat hafalan-hafalan penghafal hadis. Bahkan ada kemungkinan juga
ada aspek-aspek kehidupan Nabi yang tidak bisa direkam sampai saat ini. Dengan
demikian fase ini merupakan fase dimana penulisan hadis belum menjadi praktek
yang merata.
Hadis pada masa Nabi memang belum diupayakan
penghimpunannya dan tidak ditulis secara resmi sebagaimana al-Qur’an pada masa
Nabi SAW. Hal ini tentu ada sebab-sebab yang melatarbelakannginya. Paling tidak
ada beberapa faktor mengapa hadis Nabi waktu itu tidak secara resmi ditulis,
Pertama, masa itu tradisi keilmuan (baca tulis) belum menjadi praktek
yang merata dan masih dalam tahap diupayakan perkembangannya.
Lalu bagaimana bentuk transformasi hadis pada zaman
Nabi ? Syuhudi Ismail dalam bukunya Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,
menyimpulkan bahwa bentuk transformasi hadis antara lain melalui
a.
lisan di muka orang banyak
yang terdiri dari kaum laki-laki
b.
pengajian rutin
di kalangan laki-laki
c.
pengajian khusus yang
diadakan di kalangan kaum perempuan, setelah mereka memintanya dan lain
sebagainya .
A. Hadis Pada
Masa Rasulullah SAW
Hadis atau sunah adalah sumber hukum Islam yang kedua
yang merupakan landasan dan pedoman dalam kehidupan umat Islam setelah Al
Qur’an, Karena itu perhatian kepada hadis yang diterima dari Muhammad SAW
dilakukan dengan cara memahami dan menyampaikannya kepada orang yang belum
mengetahuinya. Perhatian semacam ini sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW masih
hidup. Namun pada saat itu para perawi hadis sangat berhati-hati dalam menerima
maupun meriwayatkan hadis dan menjaga kemurniannya. Pada zaman Rasulullah para
sahabatlah yang meriwayatkan hadis yang pertama. Para sahabat adalah penerima
hadis langsung dari Muhammad SAW baik yang sifatnya pelajaran maupun jawaban
atas masalah yang dihadapi. Pada masa ini para sahabat umumnya tidak melakukan
penulisan terhadap hadis yang diterima. Kalaupun ada, jumlahnya sangat tidak
berarti. Hal ini di sebabkan antara lain;
a. Khawatir
tulisan hadis itu bercampur dengan tulisan .Al-Qur’un.
b.
Menghindarkan umat menyandarkan ajaran Islam kepada hadis saja.
c. Khawatir
dalam meriwayatkan hadis salah, dan tidak sesuai dengan yang disampaikanNabi Muhammad SAW.
Meskipun demikian, hadits Nabi saw tetap dihafal dan
diriwayatkan oleh para Shahabat ra , karena Nabi saw bersabda
:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“Semoga Alloh menjadikan putih cemerlang seseorang yang mendengar sebuah hadits dari kami, kemudian menghafalkan dan menyampaikannya karena mungkin saja terjadi orang membawa ilmu kepada orang yang lebih faham darinya, dan mungkin terjadi orang yang membawa ilmu tidak faham tentang ilmunya itu.( HSR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, danAl-Hakim )
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“Semoga Alloh menjadikan putih cemerlang seseorang yang mendengar sebuah hadits dari kami, kemudian menghafalkan dan menyampaikannya karena mungkin saja terjadi orang membawa ilmu kepada orang yang lebih faham darinya, dan mungkin terjadi orang yang membawa ilmu tidak faham tentang ilmunya itu.( HSR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, danAl-Hakim )
B. Hadis pada
masa Khutafaur Rasyidin
Setelah Rasulullah SAW wafat para sahabat mulai
menebarkan hadis kepada kaum muslimin melalui tabligh.Nabi Muhammad SAW
bersadba; yang Artinya;
“Sampaikanlah
dari padaku, walaupun hanya satu ayat.’
Di samping itu Rasulullah berpesan kepada para sahabat
agar berhati-hati dan memeriksa suatu kebenaran hadis yang hendak disampaikan
kepada kaum muslimin. Ketika itu para sahabat tidak lagi berdiam hanya di
Madinah. Tetapi meyebar ke kota-kota lain. Pada masa Abu Bakar dan Umar, hadis
belum meluas kepada masyarakat. Karena para sahabat lebih mengutamakan
mengembangkan A1 Qur’an
Ada dua cara
meriwayatkan hadis pada masa sahabat:
a. Dengan
lafal aslinya, sesuai dengan yang dilafalkan oleh Nabi Muhammad SAW.
b. Dengan
maknanya, bukan lafalnya karena mereka tidak hafal lafalnya.
Cara yang kedua ini rnenimbulkan bermacam-macam lafal
(matan), tetapi maksud dan isinya tetap sama. Hal ini mmbuka kesempatan kepada
sahabat-sahabat yang dekat dengan Rasulullah SAW untuk mengembangkan hadis,
walaupun mereka tersebar ke kota-kota lain.
C. Masa
pembukuan hadis pada masa Umar bin Abdul Aziz
Ide pembukuan hadis pertama-tama dicetuskan oleh
khalifah Umar bin Abdul Aziz pada awal abad ke 2 hijriyah. Sebagai Khalifah
pada masa itu beliau memandang perlu untuk membukukan hadis. Karena ia meyadari
bahwa para perawi hadis makin lama semakin banyak yang meninggal. Apabil
hadis-hadis tersebut tidak dibukukan maka di khawatirkan akan lenyap dari
permukaan bumi. Di samping itu, timbulnya berbagai golongan yang bertikai daIam
persoalan kekhalifahan menyebabkan adanya kelompok yang membuat hadis palsu
untuk memperkuat pendapatnya. Sebagai penulis hadis yang pertama dan terkenal
pada saat itu ialah Abu Bakar Muhammad ibnu MusIimin Ibnu Syihab Az Zuhry.
Pentingnya pembukuan hadis tersebut mengundang para
ulama untuk ikut serta berperan dalam meneliti dan menyeleksi dengan cermatl
kebenaran hadis-hadis. Dan penulisan hadis pada abad II H ini belum ada
pemisahan antara hadis Nabi dengan ucapan sahabat maupun fatwa ulama. Kitab
yang terkenal pada masa itu ialalah Al Muwatta karya imam Malik.
Pada abad III H, penulisan dilakukan dengan mulai
memisahkan antara hadis, ucapan rnaupun fatwa bahkan ada pula yang memisahkan
antara hadis shahih dan bukan shahih. Pada abad IV H, yang merupakan akhir
penulisan hadis, kebanyakan bukti hadis itu hanya merupakan penjelasan ringkas
dan pengelompokan hadis-hadis sebelumnya.
a.
Sejarah Penulisan Hadits
Hadits Nabi saw memang belum ditulis secara umum pada
zaman Nabi saw masih hidup, karena ketika itu Al-Qur’an masih dalam proses
diturunkan dan diurutkan. Bahkan Nabi saw melarang masyarakat umum dari menulis
hadits, sebagaimana sabdanya :
لا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَ حَدِّثُوْا عَنِّيْ وَ لا حَرَج
لا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَ حَدِّثُوْا عَنِّيْ وَ لا حَرَج
وَ مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Janganlah kalian menulis sesuatu pun dariku, barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah dia menghapusnya, dan beritakanlah hadits dariku, yang demikian tidak berdosa, namun barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari api neraka.” ( HR. Muslim )
“Janganlah kalian menulis sesuatu pun dariku, barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah dia menghapusnya, dan beritakanlah hadits dariku, yang demikian tidak berdosa, namun barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari api neraka.” ( HR. Muslim )
Walaupun demikian, Nabi saw memberikan izin kepada
orang-orang tertentu untuk menulis hadits yang diyakini tidak akan terjadi
tercampurnya tulisan Al-Qur’an dengan tulisan hadits pada mereka. Sebagaimana
disebutkan dalam riwayat :
فَقَامَ أَبُو شَاهٍ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ : اكْتُبُوْا لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ
فَقَامَ أَبُو شَاهٍ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ : اكْتُبُوْا لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ
فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : اكْتُبُوْا لأَبِيْ شَاهٍ
“Berdirilah Abu Syah, yakni seorang laki-laki dari penduduk Yaman, dia berkata : “Tuliskan untukku, wahai Rosullulloh !” Maka Rosululloh saw bersabda : “Tuliskan untuk Abu Syah !” ( HR. Al-Bukhori dan Abu Dawud )
“Berdirilah Abu Syah, yakni seorang laki-laki dari penduduk Yaman, dia berkata : “Tuliskan untukku, wahai Rosullulloh !” Maka Rosululloh saw bersabda : “Tuliskan untuk Abu Syah !” ( HR. Al-Bukhori dan Abu Dawud )
Demikianlah usaha penulisan hadis pada masa khaIifah
Umar bin Abdui Aziz yang selanjutnya disempurnakan oleh utama dari masa dan ke
masa dan mencapai puncaknya pada akhir abad IV H.
b.
Masa penggalian hadis
Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada
awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai Al Hadits karena sahabat besar masih
cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran Nabi sebagai tempat bertanya
saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai Al Hadist ataupun
Al Quran. Dan diantara mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 – 23 H
atau 634 – 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas
hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya
pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang
memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar
dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai
masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu
bertukar Al Hadist.
Kemudian para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas
penggalian Al Hadits dari sumbernya ialah para sahabat besar. Kehadiran seorang
sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para
tabi’in. Meski memerlukan perjalanan jauh tidak segan-segan para tabi’in ini
berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki Al Hadist yang sangat
diperlukannya. Maka para tabi’in mulai banyak memiliki Al Hadist yang diterima
atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meski begitu, sekaligus
sebagai catatan pada masa itu adalah Al Hadist belum ditulis apalagi dibukukan.
c.
Masa penghimpunan al hadis
Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal
Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan diantara
sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit.
Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan
kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari’at dan Aqidah dengan membuat
Al Hadist Maudlu’ (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna
mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan / perjuangan mereka yang
saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Al Quran,
karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal.
Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Al Quran belaka
untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.
Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan
terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681
M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para tabi’in mengingat
kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi menerima Al Hadist
baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para shabat
kecil dan tabi’in ini sangat berhat-hati sekali. Diteliti dengan
secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang
membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri
atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar
keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita Al Hadist. Misal apakah seorang yang
pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya
sumber dan pemberitaan suatu Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang
demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabi’ut tabi’in.
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah
(tahun 99 – 101 H / 717 – 720 M) termasuk angkatan tabi’in yang memiliki jasa
yang besar dalam penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya
untuk menghimpun Al Hadist dari para tabi’in yang terkenal memiliki banyak Al
Hadist. Seorang tabi’in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin
‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 – 124 H / 671 – 742 M)
diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu beliau Az Zuhri
menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal
isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama,
sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja)
2. Masa pendiwanan dan penyusunan al hadis
Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah
pembuku Al Hadits disebut pendiwan) dan penyusunan Al Hadits dilaksanakan pada
masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan pengelompokan Al
Hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana Al Hadits yang
marfu’, mauquf dan maqtu’. Al Hadits marfu’ ialah Al Hadits yang berisi
perilaku Nabi Muhammad, Al Hadits mauquf ialah Al Hadits yang berisi
perilaku sahabat dan Al Hadits maqthu’ ialah Al Hadits yang berisi
perilaku tabi’in.
Pengelompokan tersebut diantaranya dilakukan oleh :
a.
Ahmad bin Hambal
b.
‘Abdullan bin Musa Al ‘Abasi Al Kufi
c.
Musaddad Al Bashri
d.
Nu’am bin Hammad Al Khuza’i
e.
‘Utsman bin Abi Syu’bah
Yang paling mendapat perhatian paling besar dari
ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal (164-241 H
/ 780-855 M) yang
berisi 40.000 Al Hadits, 10.000 diantaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya
sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Ahmad sendiri maka
tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya
ditambah-tambah oleh anak Ahmad sendiri yang bernama ‘Abdullah dan Abu Bakr
Qathi’i sehingga tidak sedikit termuat dengan yang dla’if dan 4 hadist maudlu’.
Adapun pendiwanan Al Hadits dilaksanakan
dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang mempelopori
usaha ini adalah :
Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari,
Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan juga
ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim.
Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan
kitab Al Hadits terwujud dalam kitab Al Jami’ush Shahih Bukhari, Al Jamush
Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana terdapat dalamdaftar
kitab masa abad 3 hijriyah.
Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H)
ialah telah diusahakannya untuk memisahkan Al Hadits yang shahih dari Al
Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam Al Hadits, yaitu :
2.
Kitab Sunan – (Ibnu Majah, Abu
Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) – menurut sebagian ulama selain Sunan
Ibnu Majah berisi Al Hadit shahih dan Al Hadits dla’if yang tidak munkar.
3.
Kitab Musnad – (Abu Ya’la, Al
Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) – berisi
berbagai macam Al Hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh seab itu hanya
berguna bagi para ahli Al Hadits untuk bahan perbandingan.
Apa yang telah dilakukan oleh para ahli Al Hadits abad
3 Hijriyah tidak banyak yang mengeluarkan atau menggali Al Hadits dari
sumbernya seperti halnya ahli Al Hadits pada adab 2 Hijriyah. Ahli Al Hadits
abad 3 umumnya melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja atas
Al Hadits yang telah ada disamping juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa
abad 4 hijriyah dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan Al
Hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki
susunan kitab Al Hadits,menghimpun yang terserakan
dan memudahkan mempelajarinya
3.
Kritik Tentang sejarah Pembukuan Hadits
Demikian salah satu hadis yang menyatakan pelarangan
penulisan hadis. Apabila ditinjau dari hadis ini, maka dapat diprediksikan
bagaimana implikasinya terhadap penulisan dan pembukuan hadis. Ulama
kontemporer seperti Muhammad Syharur, misalnya memaknai larangan hadis tersebut
sebagai suatu isyarat bahwa hadis itu sebenarnya hanyalah merupakan
ijtihad Nabi yang syarat dengan situasi sosio-kultural dimana Nabi hidup. Hadis
Nabi lebih merupakan marhalah ta>ri>khiyah, dimana Nabi sangat
dipengaruhi oleh situasi sosio-budaya Arab waktu itu, sehingga tidak terlalu
penting untuk dibukukan.
Namun demikian, disamping ada hadis yang melarang
menulisan hadis sebagaimana dikutip di atas, dalam bagian yang lain ada juga
hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan menulis hadis. Diantaranya adalah hadis
yang diriwayatkan oleh Abu> Hurairah yang artinya sebagai berikut:
Terhadap dua riwayat yang tampak saling bertentangan
tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya. Sebagian menganggap
bahwa larangan itu mutlak, tetapi sebagian ulama yang lain berusaha
mengkompromikannya dengan mengembalikan persoalan tersebut kepada empat
pendapat:
·
Sebagian ulama menganggap bahwa
hadis Abi Said Al-Hudri tersebut Mauquf, maka tidak patut untuk dijadikan
alasan, untuk melarang penulisan hadis
·
Larangan penulisan hadis berlaku
hanya pada masa awal-awal Islam, karena dikhawatirkan bercampur dengan
al-Qur’an.
·
Dengan adanya larangan penulisan
hadis tersebut pada hakekatnya Nabi mempercayai kemampuan para sahabat untuk
menghafalkannya, dan Nabi khawatir seseorang akan bergantung pada tulisan,
sedang pemberian izin Nabi untuk menulis hadisnya, pada hakekatnya
merupakan isyarat bahwa Nabi tidak percaya kepada orang seperti Abi Syah,
dapat menghafalkannya dengan baik.
·
Larangan itu bersifat umum,
tetapi secara khusus diizinkan kepada orang-orang yang bisa baca tulis dengan
baik, tidak salah dalam tulisannya, seperti pada Abdullah bin Umar.
Meskipun para ulama mempunyai perbedaan pendapat
tentang boleh tidaknya penulisan hadis ini, namun nyatanya para sahabat tetap
memelihara dan melestarikan hadis Nabi. Hal ini dibuktikan dengan adanya hadis
Nabi yang mengatakan: “Riwayatkanlah dari saya. Barang siapa sengaja berbohong
atas nama saya maka tempatnya di neraka”. Sehingga apabila menulis hadis
menjadi praktek yang dilarang, maka untuk mengantisipasi terjadinya
ketidakotentikan hadis ini Nabi juga memberikan peringatan atau ancaman neraka
tersebut
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Walaupun diakui hafalan merupakan salah satu tradisi
yang dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan, dan
konon orang-orang Arab terkenal mempunyai kekuatan hafalan yang tinggi,
bahkan para penghafal masih banyak yang beranggapan bahwa penulisan hadis tidak
diperkenankan, namun ternyata tradisi penulisan hadis sudah dilakukan sejak
zaman Nabi.
Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi,
tapi bukan berarti semua hadis Nabi sudah dibukukan sejak zaman Nabi tersebut.
Hal ini bisa kita lihat dari tidak dibukukannya hadis secara resmi saat itu, sedang
sahabat yang menulis hadis itu lebih didorong oleh keinginan dirinya sendiri.
Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek kehidupan Nabi
tidak ditemukan tanda-tandanya.
Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan
sahabatnya. Mereka selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas.
Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol yang
menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah
mereka langsung masuk ke rumah Nabi, di kala beliau tak ada di rumah, dan
berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul dengan mereka di
rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur
kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi
menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan
perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan
Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati
apa-apa yang diperintahkan Nabi.
2. Saran
Tentunya penulis dalam hal ini menyarankan kepada
pembacanya agar supaya mempelajari dan menelaah makalah ini Sebagai referensi
dalam belajar .Sebagai penulis makalah ini tentunya dalam penulisan masih
banyak kesalahan dalam penulisan dan lain sebagaai penulis saya menyarankan
kepada para pembaca agar memberikan kritik dan dan saran untuk terbentuknya
makalah yang lebih baik .
DAFTAR PUSTAKA
al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari.
al-Khathib, Ajjaj. al-Sunnah Qabla Tadwin. Cairo : Maktabah Wahbah. 1963
______________. Ushulul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu. Dar al-Fikr. 1989
Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta : Bulan Bintang. 1995
Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadits I. Penerj : Endang Soetari dan Mujiyo. Bandung : Remaja Rosda Karya. 1995
Malik, Imam. al-Muwattha'.
Shiddiqiey, TM. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2001
Sulaiman, Hasan. Abbas, Alwi, Terj. Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram Jilid I. Surabaya : Mutiara Ilmu. 1995
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara Wacana. 2003
al-Khathib, Ajjaj. al-Sunnah Qabla Tadwin. Cairo : Maktabah Wahbah. 1963
______________. Ushulul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu. Dar al-Fikr. 1989
Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta : Bulan Bintang. 1995
Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadits I. Penerj : Endang Soetari dan Mujiyo. Bandung : Remaja Rosda Karya. 1995
Malik, Imam. al-Muwattha'.
Shiddiqiey, TM. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2001
Sulaiman, Hasan. Abbas, Alwi, Terj. Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram Jilid I. Surabaya : Mutiara Ilmu. 1995
Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara Wacana. 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar